Penjelasan Tentang Peralihan Hak Milik Atas Tanah dan Proses Peralihan Hak Tanah Secara Lengkap
Table of Contents
Peralihan
hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak
yang lama kepada pemegang hak yang baru menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Peralihan
hak atas tanah didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
Tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 10 Tahun 1961) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997). Dalam Pasal 37 ayat (1) PP No.
24 Tahun 1997 disebutkan bahwa: ''Pemindahan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang - undangan yang
berlaku.''.
PP
No. 24/1997 membagi peralihan hak atas tanah dalam beberapa bentuk,
yaitu pemindahan hak, pemindahan hak dengan lelang, peralihan hak karena
pewarisan hak, peralihan hak karena penggabungan atau peleburan
perseroan atau koperasi dan pembebanan hak. Ada 2 (dua) cara peralihan
hak atas tanah, yaitu beralih dan dialihkan. Beralih menunjukkan
berpindahnya hak atas tanah tanpa ada perbuatan hukum yang dilakukan
oleh pemiliknya, misalnya melalui pewarisan. Sedangkan dialihkan
menunjuk pada berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum yang
dilakukan pemiliknya, misalnya melalui jual beli.
Dalam praktek bisnis properti acap kali pihak perusahaan pengembang (depelover) menggunakan prosedur jual beli dengan konsumen untuk melakukan pemindahan hak kepada konsumen. Pertanyaan mendasarnya, apakah hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukumtelah beralih kepada pembeli meskipun tanah tersebut belum disertifikatkan?
Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA
4/2016) secara khusus menjawab permasalahan ini yang diatur dalam
Bagian B Rumusan Hukum Kamar Perdata, Perdata Umum angka 7 SEMA 4/2016,
berbunyi sebagai berikut: “Peralihan
hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta
telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.”
Jenis Hak Atas Tanah
Jenis-jenis hak atas tanah menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) adalah:
-
Hak milik;
-
Hak guna usaha (“HGU”);
-
Hak guna-bangunan (“HGB”);
-
Hak pakai (“HP”);
-
Hak sewa;
-
Hak membuka tanah;
-
Hak memungut-hasil hutan;
-
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifanya sementara sebagai hak yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.
Sebagaimana informasi yang kami dapatkan melalui laman praktisi hukum Irma Devita Purnamasari pada artikel Jenis-Jenis Hak Atas Tanah dan Pengaturannya, Negara memberikan berbagai jenis hak atas tanah yang terdiri dari:
-
Hak individual yang bersifat perdata, yang terdiri dari;
-
Hak primer yaitu hak yang langsung diberikan oleh negara kepada pemegang haknya yang meliputi:
-
Hak milik yang merupakan hak terkuat dan terpenuh dan bisa dimiliki turun temurun tanpa ada batas waktu berakhirnya. Di atasnya bisa dibebani oleh hak-hak sekunder yang lebih rendah seperti HGB, HGU, HP, hak sewa dan hak numpang karang;
-
HGB adalah hak yang diberikan oleh negara untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah-tanah yang dikuasai oleh negara untuk jangka waktu tertentu yaitu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun. Jika sudah lewat pengguna hak ini dapat mengajukan pembaruan hak selama 30 tahun lagi;
-
HGU adalah hak yang diberikan oleh negara untuk mengolah/ mengusahakan tanah-tanah tertentu dengan luas minimal 5 ha dan biasanya digunakan untuk perkebunan dan pertanian; dan
-
Hak pakai terdiri dua macam: Hak pakai atas tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara dan tidak memiliki nilai ekonomis yaitu hak pakai atas tanah negara bagi instansi-instansi pemerintah seperti TNI, departemen, kantor perwakilan negara lain (kedutaan besar/konsulat); hak pakai atas tanah negara yang memiliki nilai ekonomis, maksudnya bisa diperjualbelikan atau dialihkan kepada orang/ pihak lainnya.
-
Hak sekunder (Derivatif) yaitu hak yang timbul atau dibebankan diatas hak atas tanah yang sudah ada. Hak ini bisa timbul karena perjanjian antara pemilik tanah sebagai pemegang hak primer dan calon pemegang hak sekunder, yang terdiri dari:
-
Hak sekunder yang ditumpangkan di atas hak lain yang memiliki derajat yang lebih tinggi misalnya HGB/HGU/HP di atas tanah hak milik;
-
Hak sewa di atas tanah hak milik/ HGB/ HGU/ hak pengelolaan (“HPL”) atas tanah negara;
-
Hak sewa atas tanah pertanian;
-
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan;
-
Hak usaha bagi hasil;
-
Hak menumpang (hak numpang karang); dan
-
Hak jaminan atas tanah, yang terdiri dari gadai dan hak tanggungan.
-
Hak pengelolaan yaitu hak istimewa yang diberikan oleh negara pada instansi-instansi tertentu untuk dikelola dan diambil manfaat atasnya;
-
Tanah wakaf yaitu hak atas tanah yang semula merupakan hak primer (hak milik, HGB HGU, HP atau tanah girik) dan kemudian diwakafkan atau diserahkan oleh pemiliknya kepada badan keagamaan ataupun badan sosial lainnya untuk di wakafkan.
Penjualan di Bawah Tangan dalam Rangka Eksekusi
Pada
prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum,
karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling
tinggi untuk obyek, hak tanggungan yang dijual.
Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT (Hak Tagihan) dan dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3), dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan carna penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Biarpun tidak ada penjelasannya, kiranya penjualan di bawah tangan itu dimungkinkan juga dalam hal sudah diadakan pelelangan umum, tetapi tidak diperoleh penawaran yang mencapai harga minimum yang ditetapkan.
Pelaksanaan penjualannya hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang HTN kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tanggal pemberitahuan tertulis adalah tanggal pengiriman pos tercatat, tanggal penerimaan melalui kurir, atau tanggal pengiriman fascsimile. Juga setelah lewat waktu 1 bulan sejak diadakan pengumuman dalam sedikit-dikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat lainnya, seperti radio dan televise.
Apabila ada perbedaan antara tanggal pemberitahuan dan tanggal pengumuman, jangka waktu 1 bulan itu terhitung sejak tanggal paling akhir antara kedua tanggal tersebut. Jangkauan surat kabar dan atau media massa lainnya itu harus meliputi tempat letak obyek HT yang bersangkutan.
Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut ntetap wajib dilakukan menurut ketentuan PP24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.
Persyaratan yang ditetapkan dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang HT kedua, ketiga dan kreditor-kreditor bukan pemegang HT dan pemberi HT.
Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT (Hak Tagihan) dan dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3), dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan carna penjualan obyek HT oleh kreditor pemegang HT di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Biarpun tidak ada penjelasannya, kiranya penjualan di bawah tangan itu dimungkinkan juga dalam hal sudah diadakan pelelangan umum, tetapi tidak diperoleh penawaran yang mencapai harga minimum yang ditetapkan.
Pelaksanaan penjualannya hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang HTN kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tanggal pemberitahuan tertulis adalah tanggal pengiriman pos tercatat, tanggal penerimaan melalui kurir, atau tanggal pengiriman fascsimile. Juga setelah lewat waktu 1 bulan sejak diadakan pengumuman dalam sedikit-dikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat lainnya, seperti radio dan televise.
Apabila ada perbedaan antara tanggal pemberitahuan dan tanggal pengumuman, jangka waktu 1 bulan itu terhitung sejak tanggal paling akhir antara kedua tanggal tersebut. Jangkauan surat kabar dan atau media massa lainnya itu harus meliputi tempat letak obyek HT yang bersangkutan.
Penjualan obyek HT “di bawah tangan” artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Namun penjualan tersebut ntetap wajib dilakukan menurut ketentuan PP24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Yaitu dilakukan di hadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.
Persyaratan yang ditetapkan dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang HT kedua, ketiga dan kreditor-kreditor bukan pemegang HT dan pemberi HT.
Penjualan Di Bawah Tangan Secara Sukarela
Penjualan
di bawah ntangan yang dimaksudkan itu adalah penjualan dalam rangka
eksekusi HT, yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 20 yang mengatur
Eksekusi Hak Tanggungan. Maka biarpun untuk itu diperlukan persetujuan
pemberi HT, yang melakukan adalah kreditor pemegang HT. Bukan pemberi HT
ataupun pemberi HT bersama pemegang HT. Untuk itulah diperlukan janji
yang disebut dalam uraian 184/I (2).
Sehubungan dengan itu tidak termasuk dalam ketentuan mengenai penjualan eksekusi di bawah tangan itu dengan syarat-syarat yang diuraikan di atas, penjualan obyek HT oleh pemberi HT, yang hasilnya disepakati untuk digunakan melunasi piutang kreditor pemegang HT, dan disepakati pula pembersihan obyek HT yang dijual dan HT yang membebaninya. Ini termasuk pengertian “penjualan sukarela”. Biarpun dibebani HT, obyek yang bersangkutan masih merupakan hak pemberi HT.
Karena itu ia mempunyai hak untuk menjualnya kepada siapapun yang dikehendakinya, tidak terkecuali kepada pemegang HT sendiri. Dalam rangka melindungi kepentingan kreditor pemegang HT untuk itulah disediakan lembaga “droit de suite” (Uraian 176 B). Pada pihak lain kreditor pemegang HT pun menurut ketentuan Pasal 18 mempunyai hak melepaskan HT yang dipunyainya.
Sudah barang tentu penjualan itu tidak boleh dilakukan dengan maksud merugikan pihak lain, khususnya kreditor lain. Misalnya penjualan ataupun sebagai yang disebut dalam Akta Jual Beli yang bersangkutan. Dalam hal demikian jual-beli yang dilakukan dapat dituntut pembatalannya oleh pihak yang merasa dirugikan dengan menggunakan lembaga “Action Pauliana”. (Pasal 1341 KUUHPdt).
Sehubungan dengan itu tidak termasuk dalam ketentuan mengenai penjualan eksekusi di bawah tangan itu dengan syarat-syarat yang diuraikan di atas, penjualan obyek HT oleh pemberi HT, yang hasilnya disepakati untuk digunakan melunasi piutang kreditor pemegang HT, dan disepakati pula pembersihan obyek HT yang dijual dan HT yang membebaninya. Ini termasuk pengertian “penjualan sukarela”. Biarpun dibebani HT, obyek yang bersangkutan masih merupakan hak pemberi HT.
Karena itu ia mempunyai hak untuk menjualnya kepada siapapun yang dikehendakinya, tidak terkecuali kepada pemegang HT sendiri. Dalam rangka melindungi kepentingan kreditor pemegang HT untuk itulah disediakan lembaga “droit de suite” (Uraian 176 B). Pada pihak lain kreditor pemegang HT pun menurut ketentuan Pasal 18 mempunyai hak melepaskan HT yang dipunyainya.
Sudah barang tentu penjualan itu tidak boleh dilakukan dengan maksud merugikan pihak lain, khususnya kreditor lain. Misalnya penjualan ataupun sebagai yang disebut dalam Akta Jual Beli yang bersangkutan. Dalam hal demikian jual-beli yang dilakukan dapat dituntut pembatalannya oleh pihak yang merasa dirugikan dengan menggunakan lembaga “Action Pauliana”. (Pasal 1341 KUUHPdt).
Proses Peralihan Hak Tanah
Menurut
Pasal 37 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah, Akta Jual Beli (AJB) merupakan bukti sah (selain
risalah lelang, jika peralihan haknya melalui lelang) bahwa hak atas
tanah dan bangunan sudah beralih kepada pihak lain. AJB dibuat di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau camat untuk daerah
tertentu yang masih jarang terdapat PPAT. Secara hukum, Peralihan Hak
atas tanah dan bangunan tidak bisa dilakukan di bawah tangan.
Langkah
pertama yang harus dilakukan untuk melakukan jual beli tanah dan
bangunan adalah dengan mendatangi kantor PPAT untuk mendapatkan
keterangan mengenai proses jual beli dan
menyiapkan persyaratan untuk proses jual beli tersebut. PPAT memiliki
wilayah kerja untuk daerah tingkat dua. Jika PPAT berkantor di Jakarta
Timur, ia hanya bisa membuat akta PPAT untuk wilayah Jakarta Timur saja.
Demikian juga jika berkantor di Kota Bekasi, ia hanya bisa membuat akta
untuk objek yang ada di Kota Bekasi saja.
Sebelum
dilakukan jual beli, PPAT akan menerangkan langkah-langkah dan
persyaratan yang diperlukan untuk melaksanakan jual beli. Kepentingan
lainnya adalah untuk menyerahkan asli sertifikat terlebih dahulu untuk
dilakukan pengecekan terhadap kesesuaian data teknis dan yuridis antara
sertifikat dan buku tanah yang ada di kantor pertanahan.
- Pemeriksaan Sertifikat ke BPNPemeriksaan
sertifikat ke BPN dilakukan oleh PPAT yang bertujuan untuk mengetahui
bahwa objek jual beli tidak dalam sengketa hukum, dalam jaminan, sita,
atau blokir dari pihak lain. Jika ada catatan di dalam buku tanah yang
ada di BPN, maka penjual berkewajiban terlebih dahulu untuk membersihkan
catatan tersebut. Jika catatan tersebut berupa blokir, maka blokir
tersebut harus diangkat terlebih dahulu. Tanpa proses ini jual beli
tidak bisa dilaksanakan.
- Menyerahkan SPPT PBB dan Bukti PembayarannyaBerkas
lainnya yang harus diserahkan kepada PPAT adalah Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan atau SPPT PBB dan bukti
pembayarannya. Penyerahan SPPT PBB sebelum jual beli dilakukan juga
diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada tunggakan pembayaran PBB dan
menghitung biaya-biaya dan pajak-pajak yang menjadi kewajiban
masing-masing pihak. Penghitungan biaya-biaya tersebut bisa dilakukan
berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
- Menyerahkan Dokumen-Dokumen para PihakDokumen-dokumen para pihak perlu diserahkan kepada PPAT sebelum dilakukan penandatanganan akta jual beli, hal ini bertujuan supaya PPAT bisa menyiapkan AJB-nya terlebih dahulu sehingga pada saat hari yang disepakati untuk penandatanganan AJB bisa dilakukan dengan segera.
- Dokumen yang disiapkan oleh penjual:
- Asli sertifikat;
- Asli SPPT PBB tahun terakhir dan bukti pembayaran;
- Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan dokumen lainnya mengenai tanah dan bangunan, jika objek jual beli berupa tanah dan bangunan;
- Fotokopi KTP dan KK suami dan istri;
- Fotokopi surat nikah, jika sudah menikah. Jika penjual belum menikah diperlukan surat pernyataan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan belum menikah;
- Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
- Fotokopi Surat Keterangan Kematian (dalam hal pemilik sudah meninggal); dan
- Fotokopi Surat Keterangan Waris yang dilegalisir oleh kelurahan.
- Dokumen yang disiapkan oleh pembeli:
- Fotokopi KTP dan KK; dan
- Fotokopi NPWP.
- Bagaimana Jika Pihak Suami atau Istri Meninggal Dunia?Jika
suami atau istri ada yang meninggal dunia, harus ada persetujuan untuk
menjual dari ahli waris tanpa melihat nama yang tercantum di dalam
sertifikat, apakah atas nama suami atau atas nama istri. Artinya
persetujuan ahli waris tetap diperlukan jika sertifikat atas nama istri
dan yang meninggal adalah suami. Begitu pula sebaliknya.
- Bagaimana Jika Suami atau Istri Tidak Bisa Menandatangani AJB?Ikatan
tali perkawinan menyebabkan terjadinya percampuran harta antara suami
dan istri, sepanjang tidak ada perjanjian kawin. Dalam hal menjual
diperlukan persetujuan suami atau istri. Jika suami atau istri karena
sesuatu dan lain hal tidak bisa ikut hadir pada saat penandatanganan
AJB, wajib ada surat persetujuan menjual yang dibuat di hadapan notaris,
minimal surat persetujuan tersebut dilegalisir.
Lain hal jika ada perjanjian kawin yang menyatakan pemisahan harta, tidak diperlukan persetujuan suami atau istri. Sebab lainnya adalah harta yang diperoleh sebelum pernikahan tidak termasuk harga 'gono-gini'. Untuk menentukan objek jual beli ini merupakan harga 'gono-gini' atau bukan, bisa dilihat dengan membandingkan tanggal pernikahan dengan tanggal diperolehnya objek jual beli. Jika tanah dan bangunan diperoleh sebelum tanggal pernikahan atau sesudah perceraian, harta tersebut bukan merupakan harta 'gono-gini'. - Penandatanganan Akta Jual BeliJika
semua syarat-syarat yang diperlukan sudah dilengkapi, seperti
dokumen-dokumen di atas, penjual sudah menerima haknya, pajak-pajak
sudah dibayarkan, biaya Akta Jual Beli (AJB) sudah
diterima PPAT maka dilakukan penandatanganan AJB dengan dihadiri oleh
dua orang saksi yang pada umumnya karyawan kantor PPAT tersebut.
- Balik Nama SertifikatBalik
nama sertifikat diajukan oleh PPAT pembuat AJB ke kantor pertanahan
setempat. Proses balik nama ini memakan waktu kurang lebih dua minggu.
Teknisnya adalah nama yang ada di sertifikat pada awalnya dicoret dan
digantikan oleh pembeli dengan mencantumkan dasar peralihannya, yaitu
nomor dan tanggal AJB beserta PPAT yang membuatnya. Setelah itu,
sertifikat sudah selesai dibaliknamakan ke atas nama pembeli.
Pengecekan Fisik di Lokasi
Adakalanya sertifikat atas tanah
tidak ada masalah secara yuridis, namun secara fisik bisa saja
kebalikannya, hal ini bisa terjadi terutama di daerah yang pemahaman
hukum masih kurang. Mereka masih beranggapan bahwa dengan menguasai
fisik sudah cukup untuk menandai kepemilikan mereka atas objek
tersebut. Jadi jika kita ingin
membeli rumah atau tanah sebaiknya dilakukan pengecekan secara yuridis
dan fisik. Secara yuridis dilakukan ke Kantor Pertanahan dan pengecekan
secara fisik dilakukan ke lokasi dengan bertanya kepada tetangga atau
pihak yang berwenang seperti RT, RW, dan kelurahan. Anda harus cermat
saat melakukan transaksi tanah karena perjuangannya memerlukan energi,
waktu, dan biaya yang cukup besar.
Penelusuran yang terkait dengan Peralihan Hak Milik Atas Tanah
- peralihan hak atas tanah pdf
- bagaimana prosedur peralihan hak atas tanah?jelaskan!
- jurnal peralihan hak atas tanah
- bentuk-bentuk peralihan hak atas tanah dalam praktik pertanahan
- peralihan hak atas tanah tukar menukar
- peralihan hak atas tanah karena pewarisan
- jelaskan proses peralihan hak atas tanah
- makalah peralihan hak atas tanah
Post a Comment